Wednesday 12 January 2011

HUKUM BAGI ANAK DI LUAR NIKAH

HAMIL DI LUAR NIKAH DAN MASALAH NASAB ANAK ZINA


Dalam fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, maka kami
berkata:

1.
Apabila seorang perempuan [Gadis atau janda] berzina
kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak
zina dengan kesepakatan para ulama, walaupun kemudian
perempuan tersebut dinikahi/tidak dinikahi oleh laki-laki yang
menzinainya.
Nasab : Dinasabkan kepada ibunya [Misalnya Fulan bin Fulanah atau Fulanah binti
Fulanah], tidak dinasabkan kepada bapak zinanya.
Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan
ibunya mewarisinya.
Hak Perwallian : Seorang anak perempuan dari hasil zina, terputus dengan
perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya ialah sultan
(penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu)1. Dan tidak wajib bagi bapaknya
memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina2.
Hubungan Mahram : Tidak terputus. Lebih luasnya lagi bacalah kitab-kitab dibawah
ini:
[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal. 529-530 tahqiq Doktor Abdullah bin
Abdul Muhsin At-Turkiy)
[2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (Jilid 32, hal. 134-152)
[3]. Majmu Syarah Muhadzdzab (Juz 15 hal. 109-113)
[4]. Al-Ankihatul Faasidah (Hal. 75-79 Abdurrahman bin Abdirrahman Sumailah Al-
Ahsal).


2.
Apabila terjadi sumpah li’aan3 antara suami isteri.
Nasab : Dinasabkan kepada ibunya. Dalam kasus li’aan ini anak dinasabkan kepada
isteri baik tuduhan suami itu benar atau bohong.
Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan
ibunya mewarisinya.
Hak Perwalian : Terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi
wali nikahnya ialah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu). Dan
tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah [Fathul baari (no. 5315). Nailul Authar
Juz 7 hal.91 dan seterusnya]
1 Al-Muhalla Ibnu Hazm Juz 10 hal 323 masalah 2013. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 112.
Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 34/100

2 Tidak wajib maknanya tidak berdosa kalau dia tidak memberi nafkah, akan tetapi tidak juga terlarang
baginya untuk memberi nafkah. Ini berbeda dengan anak dari pernikahan yang shahih, berdosa bagi
seorang bapak kalau dia tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya

3 Suami menuduh isterinya berzina atau menafikan anak yang dikandung isterinya di muka
hakim sehingga dilaksanakan sumpah li’aan.

3.
Apabila seorang isteri berzina –baik diketahui suaminya [Dan
suaminya tidak menuduh istrinya di muka hakim sehingga tidak
terjadi hukum li’aan] atau tidak- kemudian dia hamil
Nasab : Dinasabkan kepada suaminya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan
menghamilinya berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang
berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)” 4

Hak Waris : Hak waris tidak terputus dengan bapaknya [suami yang istrinya
berzina].
Hak Perwallian : Tidan terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya [suami
yang istrinya berzina]
Hubungan Mahram : Tidak terputus.
Sedangkan pada kasus di atas tidak terjadi sumpah li’aan meskipun suami mengetahui
bahwa isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak
melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah
li’aan. 5

4.
Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah
ia dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dan kepada siapa
dinasabkan anaknya?
Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya
dengan kesepakatan (ijma) para ahli fatwa sebagaimana ditegaskan oleh Imam
Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal.
157 di bagian kitab nikah bab 24 hadits 5105) 6. Untuk lebih jelasnya lagi marilah kita
ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan seterusnya :

Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid
tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar,
“Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia
mempunyai urusan (penting)” Lalu Umar berdiri menghampirinya,
kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar,
“Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan
anak perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan
berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja
(rahasia zina) atas anak perempuan itu!” Kemudian Abu Bakar
memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus
kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina).
Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar
keduanya diasingkan selama satu tahun. [Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm
4 Hadits shahih riwayat Bukhari no. 6749 dan Muslim no. 4/171 dari jalan Aisyah dalam hadits yang
panjang. Dan Bukhari no. 6750, dan 6818 dan Muslim 4/171 juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah
dengan ringkas seperti lafadz di atas

5 Apabila seorang istri berzina atau suami berzina maka nikah keduanya tidak batal (fasakh) menurut
umumnya ahli ilmu (Al-Mughni Juz 9 hal. 565)

6 Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (Juz 2 hal.542) oleh Imam Ibnu Abdil bar. Tafsir Fathul
Qadir (1/446 tafsir surat An-Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy-Syaukani

di kitabnya Al-Muhalla juz 9 hal. 476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubro
juz 8 hal. 223 dari jalan Ibnu Umar) 7

Fatwa Umar bin Khaththab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para
shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan
para shahabat [Al-Muhalla Juz 9 hal 476] atau diketahui oleh mereka khususnya
Umar. Dan semua para shahabat diam menyetujuinya dan tidak ada seorang pun di
antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah
terjadi ijma di antara para shahabat bahwa perempuan yang berzina kemudian
hamil boleh bahkan harus dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dan
menghamilinya. Oleh karena itu kita melihat para shahabat berfatwa seperti di atas
di antaranya Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah sebagaimana
riwayat di bawah ini.
Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, “Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah
dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang
anak gadis yang bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah
dengannya) dan laki-laki itupun mempunyai seorang anak laki-laki yang
bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yakni masing-masing
membawa seorang anak, yang laki-laki membawa anak laki-laki dan yang
perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut
melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka
tatkala Umar datang ke Makkah diangkatlah kejadian itu kepada beliau.
Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah
berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya
(dilaksanakan hukum had) 8. Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di
antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu
tidak mau” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih]

Fatwa Abdullah bin Mas’ud
Dari Hammam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy, “Dari Hammaam
bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy dari Abdullah bin Mas’ud
tentang, “Seorang anak laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan kemudian laki-laki itu hendak menikahi perempuan
tersebut?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Tidak mengapa yang demikian itu”
[Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dengan sanad yang
shahih]
Dari Al-Qamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang seorang
laki-laki kepada Ibnu Mas’ud, lalu laki-laki itu bertanya, “Seorang lakilaki
berzina dengan seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat
dan berbuat kebaikan, apakah boleh laki-laki itu kawin dengan
perempuan tersebut? “ Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat ini,
“Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yang
mengerjakan kejahatan dengan kebodohan9, kemudian sesudah itu
mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu
sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang” [An-Nahl : 119]
Berkata Al-Qamah bin Qais, “Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat

7 Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yang lain bahwa perempuan tersebut hamil (9/476) lihat juga
Mushannaf Abdurrazzaq (12796)
8 Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahwa Umar
mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai dia melahirkan

9 Kebodohan disini maksudnya perbuatan maksiat yang dilakukan dengan sengaja. Karena setiap orang
yang maksiat kepada Allah dikatakan jahil (tafsir Ibnu Katsir 2/590)

tersebut berkali-kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu
Mas’ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau
membolehkannya)”. [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian Imam
Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan yang lain yang semakna dengna
riwayat di atas akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas’ud membaca ayat): 10 “Dan
Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
memaafkan dari kesalahan-kesalahan (mereka) dan Dia mengetahui apaapa
yang kamu kerjakan” [Asy-Syura : 25] [Lihat riwayat yang semakna di
Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no. 12798)]

Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan : Setelah Ibnu Mas’ud membaca
ayat di atas beliau berkata, “Hendaklah menikahinya!”.

Fatwa Ibnu Umar.
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan
seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar,
“Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal
shalih)” [Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al-Muhalla juz 9 hal. 475.

Fatwa Jabir bin Abdullah
Berkata Jabir bin Abdullah, “Apabila keduanya bertaubat dan keduanya
berbuat kebaikan, maka tidak mengapa (tidak salah dilangsungkan
pernikahan di antara keduanya) –yakni tentang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya-“
[Dikeluarkan oleh Ibnu Hazm (9/475), dikeluarkan juga oleh Imam Abdurrazzaq
(7/202) yang semakna dengan riwayat di atas]
Fatwa Ibnu Abbas
Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid , “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas
tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan
bolehkah dia menikahinya ?” Jawab beliau, “Ya”, karena (nikah itu)
perbuatan halal” [Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih]
[Al-Mushannaf Abdurrazaq (7/203)]
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas : Tentang seorang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya ?
Beliau berkata, “Yang pertama itu zina sedangkan yang terakhir nikah
dan yang pertama itu haram sedangkan yang terakhir halal” [Dikeluarkan
Baihaqiy (7/155) 11 Dan dalam riwayat yang lain juga dari jalan Ikrimah ada
tambahan, “Tidak salah (yakni menikahinya)]

Berkata Said bin Jubair : Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang lakilaki
dan seorang perempuan yang masing-masing dari keduanya telah
menyentuh yang lain dengan cara yang haram (yakni keduanya telah
berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut lalu
laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas : “Yang pertama itu zina
sedangkan yang kedua nikah” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (3/267 dengan
sanad yang hasan)]

Berkata Atha bin Abi Rabah : Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan, kemudian dia menikahinya, “Yang

10 Imma kejadian ini satu kali dan masing-masing rawi membawakan satu ayat dari dua ayat yang
dibaca Ibnu Mas’ud atau kejadian di atas dua kali. Wallahu a’lam

11 Mushannaf Abdurrazzaq (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4 ialah bahwa zina
itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yang haram itu tidak bisa mengharamkan nikah yang
memang halal. Karena sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang halal

pertama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan yang terakhir nikah”
[Dikeluarkan Abdul Razzaq 7/202]

Dari Thawus, ia berkata : Diriwayatkan kepada Ibnu Abbas, “Seorang lakilaki
menyentuh perempuan dengan cara yang haram (yakni zina),
kemudian dia menikahinya?” Jawab beliau, “itu baik –atau beliau
mengatakannya- itu lebih bagus” [Dikeluarkan Abdurrazzaq 7/203]

Demikian juga fatwa para Tabi’in seperti Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Az-
Zuhri dan Hasan Al-Bashri dan lain-lain Ulama. [Baihaqiy 7/155 dan Abdurrazzaq
7/203-207]

Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui:

a. Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para shahabat tentang
masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki
yang menzinai dan menghamilinya.
b. Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan
(beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya.

Adapun mengenai hukuman bagi yang berzina (hukum had) yang melaksanakannya
adalah pemerintah bukan orang perorang atau kelompok perkelompok. Oleh karena di
negeri kita ini sebagaimana negeri-negeri Islam yang lainnya kecuali Saudi Arabia tidak
dilaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti hukum had dan lain-lain,
ini tidak menghalangi taubatnya orang yang mau bertaubat demikian juga nikahnya dua
orang yang berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat dan beramal shalih.
Langsungkanlah pernikahan karena yang demikian itu sangat bagus sekali sebagaimana
dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-laki yang menzinai dan menghamili seorang
perempuan lebih berhak terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain
[Abdurrazzaq (7/206-207)] dengan syarat keduanya mau dan ridha untuk
nikah. Apabila salah satunya tidak mau maka janganlah dipaksa hatta
perempuan tersebut telah hamil [Bacalah kembali riwayat Umar bin
Khaththab]. Ini, kemudian pertanyaan yang kedua kepada siapakah anak
tersebut dinasabkan?

Jawabnya :

Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang
menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya lakilaki
itu menikahi ibunya dengan sah. Dan di dalam kasus seperti ini –di mana
perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi laki-laki yang
menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman
hadits yang lalu yaitu : “Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat
tidur (suami yang sah) dan bagi yang berrzina tidak mempunyai hal apapun
(atas anak tersebut)”. Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi
perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan
sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak
dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air
maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena hasil zina inilah maka anak
tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak
apapun atasnya dari hal nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai
dengan zhahirnya bagian akhir dari hadits diatas yaitu : “…. Dan bagi (orang)
yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)”.

Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasabnya kepada
bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan nafkah tidak terputus sama
sekali. Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya
apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu

hamil dari pernikahan yang sah bukan dari zina. Wallahu a’lam 12

Sebagian orang di negeri kita ini ada yang mengatakan : Tidak boleh
perempuan yang hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki yang
menzinai atau menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan berdasarkan
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan perempuan-perempuan
yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan” [Ath-Thalaq : 4]

Kami jawab ; Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tidak tepat
dalam menempatkan keumuman ayat dan cenderung kepada pemaksaan
dalil.

Pertama : Ayat di atas untuk perempuan yang hamil dari hasil nikah bukan
untuk perempuan-perempuan yang hamil dari hasil zina. Karena di dalam
nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, ‘iddah, nasab, waris dan
kewalian. Sedangkan di dalam zina tidak ada semuanya itu termasuk tidak
adanya ‘iddah. Inilah perbedaan yang mendasar antara pernikahan dengan
perzinaan. Ayat di atas tetap di dalam keumumannya terhadap perempuan-perempuan
yang hamil yang dithalaq suaminya maka ‘iddahnya sampai dia melahirkan sesuai
keumuman ayat di atas meskipun ayat yang lain (Al-Baqarah : 234) menegaskan bahwa
perempuan-perempuan yang kematian suaminya ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Akan tetapi perempuan tersebut ketika suaminya wafat dalam keadaan hamil maka
keumuman ayat di ataslah yang dipakai. Atau ayat di atas tetap di dalam keumumannya
oleh sebagian ulama terhadap perempuan yang berzina lalu hamil kemudian dinikahi
oleh laki-laki yang bukan menghamilinya sebagaimana akan datang keterangannya di
kejadian kelima. Wallahu a’lam.

Kedua : Telah terjadi ijma’ Shahabat bersama para ulama tentang bolehnya
bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang dia hamili lantaran zina.

Bacalah kembali keterangan-keterangan kami di muka mengiringi apa yang telah
dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa dalam hal ini telah terjadi ijma’ ulama. Dan
anehnya tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas
untuk melarang atau mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu melahirkan
anaknya ?

Apakah kita mau mengatakan bahwa kita lebih pintar cara berdalilnya dari para
Shahabat dan seterusnya?

5.
Apabila seorang perempuan berzina kemudian dia hamil, maka
bolehkan dia dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya?
Dan kepada siapakah dinasabkan anaknya?
Madzhab Syafi’I dan Hanafi : Boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa
perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Abu Hanifah
mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut
melahirkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama
sekali anak yang lahir dari hasil zina seperti terputusnya nasab dan lain-lain
sebagaimana beberapa kali kami jelaskan di muka. Oleh karena itu halal baginya
menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut
melahirkan anaknya.

Madzhab Hambali dan Maliki : Haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan,

12 Fatawa Islamiyyah (Juz 2 hal.353 dan 354, 374-375). Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
(32/134-142). Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal.529-530). Al-Muhalla (Juz 10 hal.323) Fathul Baari
(Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 23. Dan lain-lain

beralasan kepada beberapa hadits :

Hadits Pertama.
“Dari Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
pernah melewati seorang perempuan [Perempuan ini adalah seorang
tawanan perang yang tertawan dalam keadaan hamil tua] yang sedang hamil
tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau
bersabda, “Barangkali dia13 (yakni laki-laki yang memiliki tawanan14
tersebut) mau menyetubuhinya!?”. Jawab mereka, “Ya”. Maka bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku berkeinginan
untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke
dalam kuburnya15 bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal
baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal
baginya!?” 16 [Hadits Shahih riwayat Muslim 4/161]

Hadits Kedua
“Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanantawanan
perang Authaas [Authaas adalah satu tempat di Thaif], “Janganlah
disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak
hamil sampai satu kali haid” [Hadits riwayat Abu Dawud (no.2157), Ahmad (3/28,
62, 87) dan Ad-Darimi (2/171)]

Hadits Ketiga
“Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhotbah-, ia berkata : Adapaun
sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku
dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada hari Hunain,
beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [Ke rahim orang lain
yang telah membuahkan anak] orang lain –yakni menyetubuhi perempuan
hamil- [Penjelasan ini imma dari Ruwaifi atau dari yang selainnya] Dan tidak
halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
menyetubuhi perempuan dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih.
Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
mejual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan

13 Disini ada lafadz yang hilang yang takdirnya beliau bertanya tentang perempuan tersebut dan
dijawab bahwa perempuan tersebut adalah tawanan si Fulan

14 Hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan
perang meskipun tidak dinikahi. Karena dengan menjadi tawanan dia menjadi milik orang yang
menawannya atau milik orang yang diberi bagian dari hasil ghanimah (rampasan perang) meskipun dia
masih menjadi istri orang (baca ; orang kafir). Maka dengan menjadi tawanan fasakhlah (putuslah)
nikahnya dengan suaminya. (Baca Syarah Muslim Juz 10. hal.34-36)

15 Hadits yang mulia ini pun menjadi dalil tentang haramnya menyetubuhi tawanan perang yang hamil
sampai selesai iddahnya yaitu sampai ia melahirkan dan yang tidak hamil ber’iddah satu kali haid
sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua insya Allah.
Berdasarkan hadits yang mulia ini madzhab yang kedua mengeluarkan hukum tentang haramnya
menikahi dan menyetubuhi perempuan yang hamil oleh orang lain sampai ia melahirkan.

16 Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana dia mewarisinya … dan seterusnya”, yakni
bagaimana mungkin laki-laki itu mewarisi anak yang dikandung oleh perempuan tersebut padahal anak
itu bukan anaknya. Dan bagaimana mungkin dia menjadikan anaknya itu sebagai budaknya padahal
anak itu bukan anaknya. Wallahu a’lam.

dari harta fa’i17 kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah
lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum
muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru
megembalikannya” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad
(4/108-109) dengan sanad Hasan]

Dan Imam Tirmidzi (no. 1131) meriwayatkan juga hadits ini dari jalan yang lain dengan
ringkas hanya pada bagian pertama saja dengan lafadz, “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air (mani)nya ke anak
orang lain (ke anak yang sedang dikandung oleh perempuan yang hamil oleh orang
lain)”.

Madzhab yang kedua ini lebih kuat dari madzhab yang pertama dan lebih mendekati
kebenaran. Wallahu a’lam.

Adapun masalah nasab anak dia dinasabkan kepada ibunya tidak kepada lakilaki
yang menzinai dan menghamili ibunya dan tidak juga kepada laki-laki
yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkannya. Atau dengan kata lain dan
tegasnya anak yang lahir itu adalah anak zina!

Bacalah dua masalah di kejadian yang ke lima ini di kitab-kitab.
[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah Juz 9 hal. 561 s/d 565 tahqiq Doktor Abdullah bn Abdul
Muhsin At-Turkiy.
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 30-31
[3]. Al-Ankihatul Faasidah (hal. 255-256])
[4]. Fatawa Al-Islamiyyah Juz 2 halaman 353-354 dan 374-375 oleh Syaikh bin Baaz dan
Syaikh Utsaimin dan lain-lain.


6.
Apabila terjadi akad nikah yang fasid (rusak) atau batil yaitu
setiap akad nikah yang telah diharamkan syara’ (agama) atau
hilang salah satu dari rukunnya sehingga akad nikah tersebut
tidak sah seperti :
Nikah dengan mahram 18
Nikah dengan ibu susu atau saudara sepersusuan
Nikah dengan istri bapak atau istri anak atau mertua atau
dengan anak tiri
Nikah mu’tah
Nikah lebih dari empat orang istri
Nikah dengan istri orang lain
Nikah dengan perempuan yang sedang ‘iddah
Nikah seorang muslim dengan wanita selain dari wanita ahlul
kitab (Yahudi dan Nashara)
Nikah tanpa wali
Nikah sir (rahasia) tanpa saksi
Mengumpulkan dua orang bersaudara dalam satu
perkawinan
17 Harta fa-i harta yang didapat oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tanpa peperangan. Akan
tetapi imam kaum kuffar menyerah sebelum berperang atau mereka melarikan diri meninggalkan hartaharta
mereka

18 Mahram ialah setiap perempuan yang haram dinikahi seperti ibu, saudara, anak, bibi, dan lain-lain

Mengumpulkan seorang perempuan dengan bibinya dalam
satu perkawinan
Dan lain-lain dari perkawinan yang rusak menurut agama. [Baca
Al-Ankihatul Faasidah]

Maka apabila keduanya tidak mengetahui fasid dan batilnya akad keduanya, maka
keduanya tidak berdosa dan tidak dikenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada
bapaknya seperti pernikahan yang sah meskipun keduanya langsung dipisahkan karena
fasidnya akad keduanya. Dan disamakan dengan orang yang tidak mengetahui yaitu
orang yang mendapat fatwa tentang sahnya nikah yang fasid dan batil tersebut
sebagaimana banyak terjadi pada zaman kita sekarang ini khususnya mengenai nikah
mut’ahnya kaum Syi’ah rafidhah [Bacalah risalah kami tentang masalah ini dengan judul
Nikah Mut’ah = Zina]. Adapun apabila mereka telah mengetahui tentang fasid dan
batilnya akad nikah tersebut, maka tidak syak lagi tentang dosanya dan wajib bagi
mereka dikenakan hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada bapaknya.

Masalah : Bagaimana hukumnya apabila yang mengetahui tentang haramnya
perkawinan tersebut hanya salah satu pihak, imam pihak laki-laki atau pihak
perempuan?.

Jawabanya : Maka hukumnya terkena kepada yang mengetahui tidak kepada
yang tidak mengetahui. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak laki-laki,
maka dia berdosa dan dikenakan hukuman dan anak tidak dinasabkan
kepadanya. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak perempuan, maka
dia yang berdosa dan dikenakan hukuman kepadanya dan anak tetap
dinasabkan kepada bapaknya (pihak laki-laki). Wallahu a’lam.

Sumber :
Buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir
Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M; www.almanhaj.or.id

Thursday 4 November 2010

DOA ISTRI PADA SUAMI


HR Tirmidzi : “ Tiada satupun yang lebih mulia bagi Allah melainkan do’a”. Do’a adalah senjata, do’a adalah bukti begitu kecilnya kita sebagai hamba. Tidak pantas kita menyombongkan diri karena hanya kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan dan perlindungan. Apalagi do’a seorang istri kepada suami, seperti kisah Nabi Ayub as. Ia diuji dengan bencana yang menimpa fisiknya. Tubuhnya tidak menyisakan satu lobang jarumpun yang sehat. Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menolongnya, selain istrinya yang tetap memelihara cintanya karena Allah. Istrinya selalu melayaninya dan selalu mendo’akan sang suami untuk kesembuhannya, maka Allah mengabulkan do’anya, memper kenankan permohonannya. Lalu Allah memerintahkan Nabi Ayub untuk bangkit dan menjejakkan kakinya ke tanah dan Allah mengeluarkan mata air dari dalam tanah dan menyuruhnya mandi dengan air itu. Lalu, Allah menghilangkan seluruh penyakit yang ada di tubuhnya. Itulah buah dari do’a istri yang sholehah. “ Do’a Perempuan lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki, ketika ditanya kepada Rasulullah akan hal tersebut, jawab Baginda, “ Ibu lebih penyayang dari pada Bapa, “ dan do’a orang yang penyayang tidak akan sia-sia”.




Satu Kunci Surga (doa seorang istri untuk kebaikan suaminya) Bismillahirrahmanirrahim…


Yang Maha Indah, Tiap sosok selalu menyimpan rahasia Termasuk Engkau Sang Maha Suci yag telah mempertemukan kami dalam sebuah ikatan suci Lama, aku menyadari Bahwa ada seseorang yang berjalan menjajariku Seseorang yang memberikan hidupnya untuk meilndungiku karena mencintaiMu Seseorang yang mengecup hatiku ketika aku kalut dan seseorang yang tetap berkata,” Aku mencintaimu” Bahkan ketika aku tiada di sisinya


Yang Maha Pengabul Harap, Terimalah jutaan doaku padanya Balaslah ia dengan luruhan cintaMu Atas semua kebaikannya juga amarahnya


Yang Maha Sandaran Hati, Sampaikanlah terimakasihku padanya Karena telah bersedia menjadi satu Dari sekian banyak kunci surga Yang kau pilihkan untukku


Segala puja dan puji kucurahkan padaMu Kumohon sampaikan salamku untuk Baginda Rasulullah Semoga Engkau melimpahkan cinta atasNya Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang ada di dalam hatiku Karenanya, kabulkanlah doaku


Amin ya Rabbal Alamin…?

PROFESI TERMAHAL BAGI PEREMPUAN

Rasulullah Saw pernah berkata kepada sang anak tercinta seraya menghibur ketika melihat Fatimah bersedih dan menginginkan ada pembantu yang bisa meringankan pekerjaan rumah tangganya. Beliau Saw berkata :



“Jika Allah Swt menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untuk mu. Akan tetapi Allah menghendaki dituliskannya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.”



“Ya Fatimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskannya satu derajat.”

“Ya Fatimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya, maka Allah menjadikan dirinya dan neraka tujuh buah parit.”



“Ya Fatimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka, dan mencuci pakaian mereka, maka Allah akan mencatatkan baginya pahala orang yang member makan pada seribu orang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang telanjang.”



“Ya Fatimah, apabila seorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah mencatat baginya setiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit melahirkan, maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni perang sabil. Apabila ia melahirkan, maka keluarlah dari dirinya dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan. Dan apabila ia meninggal, tiadalah ia meninggal dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman surga. Dan Allah akan mengkaruniakan pahala seribu seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.”



Dari penggalan hadits yang tertulis diatas menunjukkan bahwa sesungguhnya peran perempuan dirumah sebagai ibu rumah tangga merupakan profesiterbaik bagi dirinya. Jika mengetahui dan paham betul dengan apa-apa yang dijanjikan Allah untuk membalas pekerjaan mulia itu, pasti tidak ada satupun yang minder menjadi seorang ibu rumah tangga. Dengan banyaknya reward yang diberikan Allah untuk mereka yang berjihad sebagai ibu rumah tangga, maka jelas ibu rumah tangga merupakan profesi termahal! Sebuah profesi yang tidak mungkin dirasakan oleh kaum laki-laki...Lalu, saat ini masih pantaskah malu menjadi ibu rumah tangga?

oleh Aditya Abdurrahman

Sunday 31 October 2010

Menghindari Godaan Wanita Teman Kencan






Redaksi Yth
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sungguh, saya sangat takut akan azab Allah tentang zina. Bolehkah saya hanya bertaubat kepada Allah tanpa pengakuan kepada sesama manusia bahwa saya telah berzina?. Bukan karena takut akan rajam jika mengaku. Tetapi semata-mata untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Sebab, jika ada pengakuan, keluarga akan pecah walaupun saya telah meminta maaf dan bertaubat kepada Allah. Sementara saya tidak ingin ada perceraian. Bagaimana cara meminta maaf terhadap istri karena telah berbuat zhalim kepadanya. Bolehkah saya berbohong kepada wanita yang telah berzina dengan saya dengan mengatakan saya jarang menghubunginya lewat telpon dengan alasan sudah tidak punya HP lagi. Itu saya lakukan semata-mata untuk menghindar darinya karena takut terulang lagi.


Saya sudah ajak dia untuk bertaubat. Katanya mau bertaubat. Namun karena mungkin ‘hubungan kami’ begitu indah syaithan selalu menggoda kami berdua. Itulah sebabnya saya putuskan untuk jarang menghubunginya lagi. Kalau saya hubungi dia, hanya untuk menjalin tali silaturahmi saja. Terima kasih atas taushiyahnya.


Alhamdulillah sudah 6 bulan ini saya berlangganan As Sunnah dan mengumpulkan buku-buku yang ditulis oleh al Albani ulama salafi lainnya. Saya mencoba memahami Islam melalui manhaj Salaf. Semoga Allah meridhai saya. Karena itu, mohon dari rekan-rekan untuk mendoakan saya agar selalu istiqamah.

Fulan Jkt.


Jawab:

Kami merasa iba terhadap Anda yang telah terjerumus ke dalam lembah perzinaan. Semoga Allah segera menghilangkan rasa cinta yang busuk, penuh racun tersebut. Bertaubatlah segera dengan sebenarnya dari perbuatan keji tersebut!. Itulah katup pengaman yang paling ampuh, akan membersihkan Anda dari noda dosa zina dan lainnya. Allah Maha Mengampuni segala kesalahan. Pengakuan kesalahan yang Anda lakukan kepada sesama (istri atau keluarga) dalam masalah seperti ini tidak mesti Anda lakukan. Seorang pelaku maksiat dituntut untuk tidak membeberkannya kepada orang lain.

Para suami, hendaknya sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya (seksual). Sebab, Allah Azza wa Jalla telah menghalalkan cara baginya untuk memenuhi hajat biologisnya.


Salah pergaulan berperan dalam merusak diri kita. Apalagi bila kawan pergaulan dari kalangan wanita, yang sudah disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai fitnah yang paling berbahaya bagi kaum Adam. Kita pun tidak boleh terlalu percaya diri akan selamat dari fitnah ini. Al Qurthubi rahimahullah pernah berkata:


“Sepatutnya seseorang tidak boleh percaya diri saat berkholwat bersama dengan wanita yang tidak halal baginya. Menghindarinya lebih baik dan lebih menjaga diri”.[1]


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ


"Tidakkah aku tinggalkan sebuah fitnah sesudahku, ia lebih membahayakan kaum lelaki, melebihi bahaya fitnah wanita". [HR. al Bukhari Muslim]


Zina termasuk dosa besar. Bahayanya pun tidak bisa dianggap enteng. Akan mengakibatkan perusakan nasab, penodaan reputasi keluarga dan masyarakat serta kemunculan hukuman yang merata


Zina seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ad Da` Wad Dawa` berpangkal dari rasa al isyqu (kecanduan asmara, kasmaran) yang menggelayuti jiwa pelaku kepada pasangan kencannya. Hati yang demikian biasanya sedang mengalami kekosongan jiwa dan hati dari mahabbatullah (cinta kepada Allah). Jika jiwa kosong dan tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat, mesti akan larut dala hal-hal yang membahayakan.


Bila Anda masih sayang dengan keluarga, segera saja jauhi wanita tersebut. Tidak perlu Anda menjalin hubungan dengannya dengan cara apapun. Baik dengan dalih silaturahmi atau alasan lainnya. Sebab, masih mungkin memicu syahwat menuju hal yang tidak baik. Anda pun telah menyadari bahaya wanita tersebut ketika ‘indahnya hubungan’ dengannya menggelitik kembali. Apalagi ia belum berkeinginan memperbaiki diri. Bahkan bila perlu Anda mengganti nomor HP. Buktikan cinta Anda kepada istri Anda, wanita yang halal. Hal ini, yaitu menjauhi wanita yang sempat menjadi sumber Anda bermaksiat akan membuktikan cinta kepada ketaatan kepada Allah, serta cinta kepada istri.


Menurut nasehat Ibnu Taimiyah rahimahullah, orang semacam Anda (mengalami kecanduan cinta terlarang), mesti menempuh cara-cara berikut ini:


Pertama : Menikah. (alhamdulillah Anda sudah menikah).

Nabi bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian melihat pesona seorang wanita, hendaknya ia mendatangi istrinya. Sesungguhnya ia juga memiliki apa yang dimilikinya”.

Pernikahan akan mengurangi gejolak syahwat dan melemahkan kasmaran kepada wanita lain.


Kedua : Menekuni sholat lima waktu, berdoa dan merendahkan diri (tadharru’) di waktu-waktu sahar (sebelum fajar menyingsing).

Menegakkan sholat dengan hati penuh penghayatan dan khusyu’, serta memperbanyak doa yang berbunyi:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ اصْرِفْ قُلُوبَنَا إِلَى طَاعَتِكَ


“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu. Wahai Dzat yang memaling-malingkan hatiku, palingkanlah hatiku kepada ketaatan kepadaMu dan RasulMu”.


Kapan saja ia menekuni doa dan ketundukan kepada Allah, niscaya Allah akan menyelamatkan hatinya dari masalah itu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :


"Demikianlah agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih". [Yusuf : 24]


Ketiga: Menjauhi tempat orang (wanita penggodanya), dan menjaga jarak dengannya untuk tidak berkumpul dengannya. Sehingga tidak tahu informasi tentang dirinya. Tidak menjumpainya lewat pandangan langsung ataupun sesuatu yang bisa mengingatkan tentangnya. Keterbatasan hubungan akan mengakibatkan kepudaran ikatan. Dan kapan saja ingatan melemah, maka akan semakin lemah pula pengaruhnya pada hati. Hendaknya ia menempuh perkara-perkara ini dan memonitor perkembangan kondisi-kondisinya. Wallahu a’lam.


Setelah penyesalan, bulatkan tekad untuk tidak pernah mengotori diri lagi. Tempa diri Anda agar bersabar saat berhadapan dengan maksiat. Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan nasehat:


“Bersabar hingga tidak tergiur oleh maksiat dapat ditempa melalui banyak hal:


1. Pengetahuan seorang hamba, bahwa maksiat sangat buruk, rendah dan bejat

2. Tanam keyakinan bahwa Allah telah mengharamkan dan melarangnya supaya mengekang gerak perbuatan-perbuatan rendah dan hina. Seperti halnya seorang ayah yang penyayang memelihara anaknya dari hal-hal yang membahayakannya. Factor ini akan memacu orang yang cerdas untuk meninggalkannya, kendatipun tidak ada ancaman siksa padanya.
3. Rasa malu kepada Allah. Siapa saja yang mengetahui pendangan Allah mengarah kepadanya dan ia selalu dalam pengawasan dan pendengaran-Nya, ia akan merasa malu kepada Rabbnya untuk nekad menerjang hal-hal yang dimurkai-Nya
4. Mempertimbangkan nikmat-nikmat Allah dan kebaikan-Nya padamu. Sesungguhnya dosa-dosa akan menyirnakannya, sudah pasti”. [3]

Alangkah baiknya, bila kita mendengarkan nasehat dari Khalifah ‘Umar bin al Khaththab yang dikutip oleh al Khaththabi dalam kitab al ‘Uzlah hlm. 58, dari Wadi’ah, ia berkata: Aku mendengar ‘Umar bin al Khaththab sedang menasehati seseorang:


“Janganlah engkau berbicara kecuali yang berguna. Hindari musuhmu. Waspadailah seorang teman kecuali yang amanah. Dan tiada kawan yang dapat dipercaya kecuali yang takut dan taat kepada Allah Azza Wa Jalla. Janganlah engkau berjalan bersama orang fajir (jahat), hingga ia akan mengajarimu sebagian dari kejahatannya. Janganlah engkau menaatinya saat engkau sendirian, jangan pula meminta kepadanya pendapat, kecuali kepada orang-orang yang takut kepada Allah Subhanah”.


Alhamdulillah, dalam pengakuan di atas, Anda telah benar-benar bertaubat, menyesali perbuatan. Semoga Allah menerima taubat Anda. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ


".Orang yang bertaubat, seperti orang yang tidak ada dosanya" [4]


Semoga Allah Azza Wa Jalla memberikan hidayah dan istiqomah bagi kita sekalian agar senantiasa berada di atas jalanNya yang lurus. Amien. Wallahul Hadi Ila Shirathil Mustaqim.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 98/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

________
Footnotes
[1]. Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (14/202) saat menafsiri ayat (yang artinya) : “Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. Al Ahzab : 53
[2]. Majmu al Fatawa : 32/5-6
[3]. Thariq al Hijratain Wa Babu as Sa’adatain (1/270).
[4]. Hadits hasan dengan syawahid

Friday 22 October 2010

Tazkiyyatun Nufuus






Hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah pengendali dan sekaligus sebagai pemberi komando terdepan yang setiap anggota tubuh berada di bawah kekuasaannya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, baik dalam ketaatan atau penyimpangan. Organ-organ tubuh lainnya selalu mengikuti dan patuh dalam setiap keputusan.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya); “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi bila daging itu rusak maka rusak pula tubuh manusia. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)

Pengelompokan Hati Manusia

Hati manusia terbagi menjadi tiga klasifikasi; Qalbun Shahih (hati yang suci), Qalbun Mayyit (hati yang mati), dan Qalbun Maridl (hati yang sakit).

Pertama, Qalbun Shahih

Yaitu hati yang sehat dan bersih (hati yang sehat) dari setiap nafsu yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya. Sehingga ia selamat dari pengabdian kepada selain Allah, dan mencari penyelesaian hukum pada selain Rasul-Nya. Karenanya, hati ini murni pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik pengabdian secara iradat (kehendak), mahabbah (cinta), tawakkal (berserah diri), takut atas siksa-Nya dan mengharapkan karunia-Nya. Bahkan seluruh aktifitasnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Jika mencintai maka cintanya itu karena Allah, dan jika membenci maka kebenciannya itupun karena Allah, jika memberi atau bersedekah, hal itu karena-Nya dan jika tidak memberi, juga karena Allah. Dan tidak hanya itu saja, tapi diiringi dengan kepatuhan hati dan ber-tahkim kepada syari'at-Nya. ia mempunyai landasan yang kuat dan prinsip tersendiri dalam menjadikan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai suri tauladan dalam segala hal. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman; “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Hujurat [49] : 1)

Ciri-ciri Qalbun Shahih

  1. Apabila hati pergi meninggalkan dunia menuju dan berdomisili di alam akhirat, sehingga seakan ia termasuk penduduknya. Ia datang ke dunia fana ini bagaikan seorang asing yang kebetulan singgah sebentar sebelum meneruskan perjalanan menuju alam akhirat. Sebagaimana telah diwasiatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma (yang artinya); “Jadikanlah dirimu di dunia ini seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang menyeberangi suatu jalan.” (HR. Bukhari)

  2. Jika ia tertinggal wirid, atau sesuatu bentuk peribatan lainnya, maka ia merasakan sakit yang tiada terperi, melebihi sakitnya orang yang tamak dan kikir saat kehilangan barang kesayangannya.

  3. Ia senantiasa rindu untuk dapat mengabdikan diri di jalan Allah, melebihi keinginan orang yang lapar kepada makanan dan minuman. Yahya bin Mu'adz berkata; “Barangsiapa yang merasa berkhidmat kepada Allah, maka segala sesuatupun akan senang berkhidmat kepadanya, dan barangsiapa tentram dan puas dengan Allah maka orang lain tentram pula ketika melihat dirinya.

  4. Apabila tujuan hidupnya hanya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

  5. Bila sedang melakukan shalat, maka sirnalah semua kegundahannya dan kesusahan karena urusan dunia. Sebab di dalam shalat telah ia temukan kenikmatan dan kesejukan jiwa yang suci.

  6. Sangat menghargai waktu dan tidak menyia-nyiakanya, melebihi rasa kekhawatiran orang bakhil dalam menjaga hartanya.

  7. Tidak pernah terputus dan futur (malas) untuk mengingat Allah dan berdzikir kepada-Nya.

  8. Lebih mengutamakan pada pencapaian kualitas dari suatu amal perbuatan daripada kuantitas. Ia lebih condong pada keikhlasan dalam beramal, mengikuti petunjuk syari'at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disamping ia selalu merenungi segala bentuk karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan mengakui tentang kelalaian dan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kedua, Qalbun Mayyit

Qalbun Mayyit (hati yang mati) adalah kebalikan dari hati yang sehat, hati yang mati tidak pernah mengenal Tuhannya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. dan ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginan hawa nafsunya, walaupun hal ini menjadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala marah dan murka akan perbuatannya. Ia tidak peduli lagi apakah Allah ridha atau murka terhadap apa yang dikerjakannya, sebab ia memang telah mengabdi kepada selain Allah. Jika mencintai didasarkan atas hawa nafsu, begitu pula dengan membenci, memberi. Hawa nafsu lebih didewa-dewakan daripada rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Hati jenis ini adalah hati yang jika diseru kepada jalan Allah, maka seruan itu tidaklah berfaidah sedikitpun, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menutup hati mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya); “Dan diantara mereka ada orang yang mendengar (bacaanmu), padahal kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka sehingga mereka tidak memahaminya) dan kami letakkan sumbatan di telinganya dan jikalaupun mereka melihat segala tanda kebenaran mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata; 'al-Qur'an itu tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu.'” (QS. al-An'am [6] : 25)

Ayat ini menunjukkan, bahwa ada manusia yang tidak mempergunakan hatinya untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidak mempergunakan telinganya untuk mendengar perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga tidak mau melihat kebenaran yang telah disampaikan. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya); “(Mereka berkata;) Hati kami tertutup dari ajakan yang kamu serukan kepada kami, dalam telinga kami ada sumbatan, dan diantara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja pula.” (QS. Fushilat [41] : 5)

Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membiarkan mereka dalam kegelapan dan mereka sedikitpun tidak akan mendapatkan cahaya iman. “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka. Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat, mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidaklah kembali kepada jalan yang benar.” (QS. al-Baqarah [2] : 17-18)

Ketiga, Qalbun Maridl

Qalbun Maridl (hati yang sakit) adalah hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun didalamnya tersimpan benih-benih penyakit berupa kejahilan. Hati yang sedang dicekam sakit akan mudah menjadi parah apabila tidak diobati dengan hikmah dan mau'idzah. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya); “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan setan, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya.” (QS. al-Hajj [22] : 53)

Karena sesungguhnya apa yang disisipkan oleh setan ke dalam hati manusia itu, akan membuat sesuatu menjadi syubhat (sesuatu yang meragukan), seperti penyakit ragu dan sesat. Begitu hati menjadi lemah karena penyakit yang diidap, maka setanpun mudah merasuk kedalam hati lalu menghidupkan fitnah dalam hati tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka. Kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (QS. al-Ahzab [33] : 60)

Namun demikian, hati orang-orang yang seperti itu belumlah mati sebagaimana hati orang-orang kafir dan orang-orang munafik, akan tetapi bukan pula hati sehat, seperti sehatnya hati orang-orang yang beriman. Sebab di dalam hati mereka terdapat penyakit syubhat dan syahwat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya): “Sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.” (QS. al-Ahzab [33] : 32)

Ciri-ciri Qalbun Maridl

Boleh jadi hati manusia sedang sakit, bahkan tanpa disadari. Lebih tragis bahwa hatinya sebenarnya mati, namun si empunya tidak menyadari.

Tanda-tanda spesifik hati yang sedang sakit atau mati adalah jika ia tidak merasa sakit dan pedih oleh goresan-goresan pisau kemaksiatan, Hal itu disebabkan karena hatinya telah rancu dan teracuni, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara nilai kebenaran dan aqidahnya yang bathil. Hal ini seperti ditafsirkan oleh Mujahid dan Qatadah tentang firman Allah yang berbunyi “fi qulubihim-maradhun” (QS. al-Baqarah [2] : 10), artinya; “Dalam hati mereka terdapat penyakit.” “Ayat ini menunjukkan adanya keraguan yang tumbuh dalam hati manusia tentang kebenaran.” Bahkan ia melihat kebenaran bagai sesuatu yang sangat bertentangan dengan kehendaknya. Kebenaran itu dilihat dari sisi lain yang terasa merugikan dirinya. sehingga dalam kondisi seperti ini ia lebih menyukai kebathilan dan kemudharatan.

Faktor-faktor Penyebab Sakitnya Hati

Penyebab timbulnya penyakit di hati adalah dikarenakan banyaknya fitnah yang selalu dibidikkan pada hati. Fitnah-fitnah tersebut dapat berupa: fitnah syahwat, dimana reaksinya amat keras sampai dapat merancukan niat dan iradat (kehendak) seseorang. Dan yang lain adalah fitnah syubhat (keragu-raguan) yang menyebabkan kacaunya persepsi dan i'tiqad (keyakinan).

Racun Hati

Setiap kemaksiatan adalah racun dan yang merupakan penyakit dan perusak kesucian hati. Dan racun-racun hati yang paling banyak ditemukan dan reaksinya cukup keras bagi kelangsungan hidup hati ada empat macam yaitu:

  1. Berlebihan dalam Berbicara

    Banyak berbicara adalah salah satu faktor yang menyebabkan hati menjadi keras, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Janganlah memperbanyak kata (bicara) selain dzikrullah, karena banyak bicara selain dzikrullah menjadikan hati keras. Dan orang yang terjauh dari Allah adalah yang berhati keras.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma). Kemudian juga dengan banyak berbicara terkadang membuat seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya, sehingga melahirkan kerugian dan penyesalan. Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pernah berkata; “Barang siapa yang banyak bicaranya, maka banyak kesalahannya, sehingga nerakalah sebaik-baik tempat bagi mereka.” Hal ini ditegas juga dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya); “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Muttafaq 'alaihi, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

  2. Berlebihan dalam Memandang Sesuatu

    Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kepada setiap Mukmin dan Mukminah untuk menundukkan pandangannya, yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati mereka. Dan juga mereka akan merasakan manisnya iman, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Barangsiapa yang menahan pandangannya karena Allah, maka dia akan diberikan oleh Allah rasa manisnya iman yang ia rasakan dalam hatinya, sampai dimana ia manghadap kepada-Nya.” (HR. Ahmad). Sekarang bagaimana jika perintah itu dilanggar, maka jelas akan menyebabkan fitnah bagi hati pelakunya. Yaitu, rusaknya kesucian hati itu sendiri oleh angan-angan dan keindahan semu yang dibisikkan setan, lupa terhadap hal yang menjadi kemaslahatan. Lalu ia berbuat melampaui batas sehingga hilanglah akal sehatnya dan menyebabkan ia menjadi pengabdi hawa nafsu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya); “Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi : 28)

  3. Berlebihan dalam Makan

    Sedikit makan dapat melunakkan hati, menajamkan otak, merendahkan nafsu birahi dan melemahkan nafsu amarah. Sedangkan bila banyak makan, bahkan sampai kekenyangan akan berakibat sebaliknya.

    Dari Miqdam bin Ma'di Karib dia berkata; bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Anak adam tidak memenuhi wadah yang lebih buruk, daripada ia memenuhi perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap saja untuk menguatkan tulang rusuknya. Jika memang tidak memungkinkan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

    Alangkah banyak kemaksiatan yang tersulut akibat makan yang berlebihan dan menghalangi ketaatan manusia kepada Sang Khalik. Karenanya siapa yang mampu menjaga perutnya dari sifat serakah, maka ia benar-benar membuktikan bahwa dirinya mampu menjaga diri dari keburukan yang lebih fatal lagi.

    Ibrahim bin Adham berkata; “Barangsiapa mampu mengendalikan perutnya, maka ia mampu pula mengendalikan agamanya, dan barangsiapa yang mampu menguasai rasa lapar (tidak makan berlebihan) maka ia dapat menguasai akhlak-akhlak yang baik, sebab maksiat kepada Allah itu jauh dari orang-orang yang lapar (yang mampu mengendalikan syahwat perutnya).

  4. Berlebihan dalam Bergaul

    Betapa tragis suatu pergaulan yang dapat merampas kenikmatan yang telah ada, karenanya timbul benih-benih permusuhan dan kebencian yang terpendam sehingga menyesakkan rongga-rongga dada. Namun rasa itu sulit dihindari terutama oleh hati yang sudah terluka. Demikian juga berlebih-lebihan dalam pergaulan dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Seyogyanya bagi seorang hamba dapat mengambil hikmah dari setiap pergaulan. usahakanlah untuk bersikap bijak dan dapat menempatkan diri dalam menghadapi berbagai karakter teman sepergaulan. Dimana karakter-karakter tersebut ada empat golongan:

    • Terhadap orang yang jika kita membutuhkan bergaul dengannya, laksana kebutuhan kita terhadap makanan, kita tidak dapat lepas darinya dalam sehari semalam. Mereka itu adalah para Ulama yang memiliki cakrawala pengetahuan yang luas tentang ilmu Agama, mengetahui tipu daya setan dan segala macam bentuk penyakit hati.

    • Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya seperti kebutuhan kita akan obat. Kita mengharapkannya dikala kita sedang sakit saja, tetapi bila badan kembali sehat maka mereka tidak kita butuhkan lagi. Mereka ini adalah dari orang yang kehadirannya kita nantikan berkaitan dengan masalah kemaslahatan hidup dan kehidupan, seperti untuk saling bekerjasama atau sebagai mitra kerja dalam berniaga, bertani, bermusyawarah dan masalah-masalah lain dalam hal muamalah.

    • Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya, tidak ubahnya seperti penyakit. Golongan ini terbagi menjadi beberapa jenis dan tingkatan, bergantung pada intensitasnya terhadap jiwa kita. Diantara mereka adalah yang bersifat individualis dan egoistis. Jika bergaul dengannya hendaklah kita waspada dan berlaku bijak dalam menghadapinya. Hal ini bukan berarti kita harus menghindar dan tidak mau bergaul dengannya, tetapi jagalah jangan sampai diri kita terbawa oleh pengaruh kepribadiannya, karena akan merugikan kita dalam hal agama dan dunia. Oleh karena itu sebaiknya orang-orang yang masuk dalam tipe ini hendaklah dijauhi jika ingin selamat agama dan dunia kita.

    • Terhadap orang yang bila kita bergaul dengannya akan membawa kefatalan, sebab ia laksana ular berbisa. Andaikan kita sampai terkena patuknya, kemudian kita berhasil menemukan penawarnya maka selamatlah kita, tetapi jika tidak, inilah bencana bagi kita. Golongan ini banyak berkeliaran di sekitar kita. Mereka adalah ahli bid'ah yang sesat dan menyesatkan, menyimpang dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka pandai membolak-balikkan fakta, Sunnah mereka jadikan bid'ah dan bid'ah mereka jadikan Sunnah. Bagi orang yang berakal tidak layak untuk bergaul ataupun duduk-duduk bersama mereka. Jika itu tetap dilakukan maka akan sakitlah hati bahkan bisa menyebabkan hatinya menjadi mati.

Thursday 21 October 2010

Bolehkah Mengusap Jilbab Ketika Berwudhu?

Sering kali, seorang muslimah berjilbab merasa kesulitan jika harus berwudhu di tempat umum yang terbuka. InMaksud hati ingin berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu secara langsung. Akan tetapi jika hal itu dilakukan maka dikhawatirkan auratnya akan terlihat oleh orang lain yang bukan mahram. Karena anggota wudhu seorang wanita muslimah sebagian besarnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan menurut pendapat yang rojih (terkuat).Lalu, bagaimana cara berwudhu jika kita berada pada kondisi yang demikian?

Saudariku, tidak perlu bingung dan mempersulit diri sendiri, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kemudahan dan keringanan bagi hamba-Nya dalam syari’at Islam ini. Allah Ta’ala berfirman,

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al Baqarah: 185)

Pada bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai hukum wudhunya seorang muslimah dengan tetap mengenakan jilbabnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan.

Seorang Wanita Boleh Berwudhu dengan Tetap Memakai Jilbabnya

Terkait wudhunya seorang muslimah dengan tetap memakai jilbab penutup kepala, maka diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengusap jilbabnya sebagai ganti dari mengusap kepala. Lalu apa dalil yang membolehkan hal tersebut?

Dalilnya adalah bahwasanya Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dulu pernah berwudhu dengan tetap memakai kerudungnya dan beliau mengusap kerudungnya. Ummu Salamah adalah istri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka apakah Ummu Salamah akan melakukannya (mengusap kerudung) tanpa izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, 21/186, Asy Syamilah). Apabila mengusap kerudung ketika berwudhu tidak diperbolehkan, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang Ummu Salamah melakukannya.

Ibnu Mundzir rahimahullah dalam Al-Mughni (1/132) mengatakan, “Adapun kain penutup kepala wanita (kerudung) maka boleh mengusapnya karena Ummu Salamah sering mengusap kerudungnya.”

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berwudhu dengan mengusap surban penutup kepala yang beliau kenakan. Maka hal ini dapat diqiyaskan dengan mengusap kerudung bagi wanita.

Dari ‘Amru bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, dari bapaknya, beliau berkata,

رأيت النبي صلّى الله عليه وسلّم، يمسح على عمامته وخفَّيه

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari (1/308 no. 205) dan lainnya)

Juga dari Bilal radhiyallahu ‘anhu,

أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، مسح على الخفين والخمار

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf dan khimarnya.” (HR. Muslim (1/231) no. 275)
Dalam kondisi apakah seorang wanita diperbolehkan untuk mengusap kerudungnya ketika berwudhu?

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “(Pendapat) yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad, bahwasanya seorang wanita mengusap kerudungnya jika menutupi hingga di bawah lehernya, karena mengusap semacam ini terdapat contoh dari sebagian istri-istri para sahabat radhiyallahu ‘anhunna. Bagaimanapun, jika hal tersebut (membuka kerudung) menyulitkan, baik karena udara yang amat dingin atau sulit untuk melepas kerudung dan memakainya lagi, maka bertoleransi dalam hal seperti ini tidaklah mengapa. Jika tidak, maka yang lebih utama adalah mengusap kepala secara langsung.” (Majmu’ Fatawawa Rasaail Ibni ‘Utsaimin (11/120), Maktabah Syamilah)

Syaikhul Islam IbnuTaimiyyah rahimahullah mengatakan, “Adapun jika tidak ada kebutuhan akan hal tersebut (berwudhu dengan tetap memakai kerudung -pen) maka terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama (yaitu boleh berwudhu dengan tetap memakai kerudung ataukah harus melepas kerudung -pen).”(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (21/218))

Dengan demikian, jika membuka kerudung itu menyulitkan misalnya karena udara yang amat dingin, kerudung sulit untuk dilepas dan sulit untuk dipakai kembali, dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membuka kerudung karena dikhawatirkan akan terlihat auratnya oleh orang lain atau udzur yang lainnya maka tidaklah mengapa untuk tidak membuka kerudung ketika berwudhu. Namun, jika memungkinkan untuk membuka kerudung, maka yang lebih utama adalah membukanya sehingga dapat mengusap kepalanya secara langsung.

Tata Cara Mengusap Kerudung

Adapun mengusap kerudung sebagai pengganti mengusap kepala pada saat wudhu, menurut pendapat yang kuat ada dua cara [1], diqiyaskan dengan tata cara mengusap surban, yaitu:

1. Cukup mengusap kerudung yang sedang dipakai.

Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu dari bapaknya,

“Aku pernah melihat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.”

Surban boleh diusap seluruhnya atau sebagian besarnya [2]. Karena kerudung bagi seorang wanita bias diqiyaskan dengan surban bagi pria, maka cara mengusapnya pun sama, yaitu boleh mengusap seluruh bagian kerudung yang menutupi kepala atau boleh sebagiannya saja. Akan tetapi, jika dirasa sulit untuk mengusap seluruh kerudung, maka diperbolehkan mengusap sebagian kerudung saja yaitu bagian atasnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu di atas.

2. Mengusap bagian depan kepala (ubun-ubun) kemudian mengusap kerudung.

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,

أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، توضأ، ومسح بناصيته وعلى العمامة وعلى خفيه

“Bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu mengusap ubun-ubunnya, surbannya, dan juga khufnya.” (HR. Muslim (1/230) no. 274)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

رأيتُ رسولَ اللّه صلى الله عليه وسلم يتوضأ وعليه عمَامة قطْرِيَّةٌ، فَأدْخَلَ يَدَه مِنْ تحت العمَامَة، فمسح مُقدَّمَ رأسه، ولم يَنْقُضِ العِمًامَة

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, sedang beliau memakai surban dari Qatar. Maka beliau menyelipkan tangannya dari bawah surban untuk menyapu kepala bagian depan, tanpa melepas surban itu.” (HR. Abu Dawud)

Syaikhul Islam IbnuTaimiyah rahimahullah berkata, “Jika seorang wanita takut akan dingin dan yang semisalnya maka dia boleh mengusap kerudungnya. Karena sesungguhnya Ummu Salamah mengusap kerudungnya. Dan hendaknya mengusap kerudung disertai dengan mengusap sebagian rambutnya.” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (21/218), Maktabah Syamilah)

Maka diperbolehkan bagi seorang muslimah untuk mengusap kerudungnya saja atau mengusap kerudung beserta sebagian rambutnya. Namun, untuk berhati-hati hendaknya mengusap sebagian kecil dari rambut bagian depannya beserta kerudung, karena jumhur ulama tidak membolehkan hanya mengusap kerudung saja, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari. (Lihat Fiqhus Sunnah lin Nisaa, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim)

Syarat-Syarat Mengusap Kerudung

Para ulama berselisih pendapat tentang syarat-syarat mengusap penutup kepala (dalam konteks bahasan ini adalah kerudung). Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap penutup kepala sama dengan syarat-syarat mengusap khuf (sepatu). Perlu diketahui bahwa di antara syarat-syarat mengusap khuf adalah khuf dipakai dalam keadaan suci dan batas waktu mengusap khuf adalah sehari semalam untuk orang yang mukim dan tiga hari tiga malam untuk musafir.

Sebagian lagi berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap kerudung tidak dapat diqiyaskan dengan persyaratan mengusap khuf. Mengapa demikian? Meskipun sama-sama mengusap, tetapi mengusap kerudung merupakan pengganti dari mengusap kepala yang mana kepala merupakan anggota wudhu yang cukup dengan diusap, sedangkan mengusap khuf merupakan pengganti dari mengusap kaki yang mana kaki merupakan anggota wudhu yang dibasuh/dicuci.

Oleh karena itu tidaklah disyaratkan untuk memakai penutup kepala dalam keadaan suci dan tidak ada batasan waktu, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insya Allah. Mereka berpendapat karena dalam hal ini tidak ada ketetapan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai batasan waktunya. Kapanpun seorang wanita muslimah memakai kerudung dan berkepentingan untuk mengusapnya ketika berwudhu maka ia boleh mengusapnya, dan bila mana ia bisa melepas kerudungnya ketika berwudhu maka ia mengusap kepalanya, dan tidak ada batas waktu untuk hal tersebut. Namun, untuk lebih berhati-hati hendaknya kita tidak memakai penutup kepala kecuali dalam keadaan suci. (Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘UtsaiminWallahu a’lam. (11/119)).

[1] Thohurul Muslimi fii Dhouil Kitabi was Sunnati Mafhuumun wa Fadhoilun wa Adabun wa Ahkamun hal. 35 & 52, SyaikhSa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, MaktabahSyamilah
[2]Syarh Al-’Umdah hal. 276 dan Majmu’ Fatawawa Rasaail Ibni ‘Utsaimin (11/119)

Penulis: Ummu Isma’il Noviyani Maulida
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

***

Artikel muslimah.or.id

Sunday 19 September 2010

SEUNTAI NASIHAT TUK SAUDARIKU

Oleh :
Ummu Salma al-Atsariyah

Saudariku,…
Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman tangan-Nya, Sungguh..!!! janganlah kau lipat risalah ini dan jangan pula langsung kau simpan, terlebih lagi kau buang, sebelum kau baca dengan perlahan-lahan dan kau resapi kandungannya… sungguh demi Allah wahai saudariku, tiada maksud dan tiada keinginan dariku kecuali kebaikan bagimu dan engkau diridhai Allah SubhanaHu wa Ta’ala .

Saudariku, semoga Allah SubhanaHu wa Ta’ala mengasihimu… Sungguh Allah SubhanaHu wa Ta’ala telah memuliakan dirimu dengan segala bentuk kenikmatan yang dianugerahkan-Nya kepadamu. Tidakkah tatkala kau mematut dirimu di depan cermin sembari kau memandangi keindahan yang diberikan sang Khaliq kepadamu, kau melihat suatu kesempurnaan yang tiada duanya. Allah Tabaroka wa Ta’ala menganugerahkan kepadamu penglihatan yang dengannya kau dapat melihat, kau dapat membedakan keajaiban dari berjuta-juta warna, dan dengannya pula kau dapat mencermati keindahan ciptaan Allah yang tak terperikan.

Saudariku Muslimah, demikian pula Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepadamu pendengaran, yang dengannya kau dapat mendengarkan suara-suara merdu ketika lantunan Al-Qur’an dibacakan, ketika Adzan bergema, dengannya kau dapat mendengarkan nasihat-nasihat yang menyejukkan jiwa dan dengannya pula kau dapat meresapi keindahan kalam-kalam ilahi tatkala dilantunkan. Demikian pula anugerah Allah lainnya seperti kedua kakimu, tanganmu, mulutmu dan lain sebagainya yang sungguh sangat tak terhitung jumlahnya.
Sungguh mulia engkau wahai saudariku, yang menjadikan anugerah yang diberikan Allah kepadanya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, seraya merasa kerendahan dan kelemahan dirinya sebagai makhluk yang tak dapat melepaskan diri dari perlindungan Rabbnya, sembari senantiasa berdzikir mengingat kepada keagungan dan kebesaran Allah, Robbanaa Maa Kholaqta Haadza baathilan Subhaanaka… (Ya Rabb kami, tidaklah engkau menciptakan kesemua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau…)

Akan tetapi wahai saudariku, semoga Allah menuntunmu ke jalan-Nya yang Haq
Demi Allah, betapa sedih diriku tatkala melihatmu melupakan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadamu, kau dengan mudahnya lalai begitu saja dengan anugerah-Nya… Seolah-olah apa yang kau miliki itu adalah dari dirimu sendiri. Tatkala kau takjub dengan kecantikanmu, kau bangga dengan kehalusan dan kemulusan tubuhmu, kau merasa betapa indah matamu, betapa bagusnya bibirmu… Lantas kau pamerkan itu semua ke hadapan orang-orang yang tak layak memandangnya, kau perlihatkan sehingga menjadi sakit orang-orang yang lemah hatinya. Kau menjadi pusat fitnah di muka bumi ini. Aurat yang seharusnya kau tutupi dan kau pelihara serta kau jaga itu, dengan mudahnya kau buka dan kau perlihatkan ke hadapanorang-orang bukan mahrammu. Bagian tubuh yang seharusnya hanya kau tujukan ‘tuk calon suamimu, kau umbar begitu saja di hadapan mereka… sehingga menjadi rusaklah para lelaki-lelaki Muslim, tergiur dengan keindahan dirimu yang seharusnya kau pelihara… Lalu, Kau merdu-merdukan suaramu di hadapan mereka, bahkan kau bermanja-manja dengan mereka, kau biarkan mereka melototi dirimu seolah-olah bak hendak melahap dirimu, bahkan kau biarkan dirimu disentuh dan dipegang-pegang oleh mereka –Naudzu biLlah- Sungguh wahai saudariku!!! Sekali lagi sungguh!!! Tidakkah kau pernah mendengar Nabimu yang mulia ‘alaihi Sholaatu wa Salaam pernah bersabda : “Dua golongan dari Ahli Naar yang belum pernah kulihat sebelumnya”, salah satunya ialah “Wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang yang berjalan dengan berlenggak lenggok, ia takkan masuk surga bahkan takkan mencium baunya.”. Nas’aluLlahus Salaamah wal’Aafiyah (Kita memohon keselamatan dan perlindungan-Nya) !!! Wahai saudariku, maukah engkau termasuk wanita yang disifatkan oleh RasuluLlah sebagaimana hadits di atas? Maukah kau dikatakan sebagai wanita-wanita yang berpakaian namun pada hakikatnya telanjang? Maukah kau dinyatakan sebagai orang yang takkan masuk surga, bahkan mencium baunya pun tidak? SubhanaLlah!!! Sekali-kali tidak!!! Kuyakin bahwa kau pasti tak menghendakinya..

Maka kunasehatkan pada dirimu wahai saudariku yang kukasihi karena Allah,
Sesungguhnya dirimu ini adalah bagian dari laki-laki, engkau adalah keturunan manusia yang memiliki karakter dan keunikan yang luar biasa yang menjadikanmu sebagai manusia yang indah, yang menghiasi dunia dan seisinya. RasuluLlah terkasih pernah bersabda : ”Inna ad-Dunya mataa’un wa khoirul mataa’in mar’atun sholihah” yang artinya, sesungguhnya dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang Sholihah.. Ya! Wanita Sholihah!!! Merekalah sebaik-baik perhiasan, karena dari merekalah lahir generasi-generasi yang luhur budi pekertinya, dari merekalah lahir generasi-generasi terbaik, dan merekalah pondasi tegaknya suatu tatanan. Wanita adalah Ibu, yang merupakan madrasah pertama generasi manusia. Wanita adalah Istri yang dengannya menjadi tentram hati laki-laki. Dan dari wanitalah Allah SubhanaHu wa Ta’ala melahirkan para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan para sholihin.

SubhanaLlah, Maha suci Allah!!! Karena begitu besarnya rasa cinta Allah kepada dirimu, Allah Ta’ala memaktubkan namamu dalam salah satu surat pada firman-Nya yang mulia, surat an-Nisaa’! Maka saudariku yang mulia, sudah tak usah kau hiraukan dan kau dengarkan para pengoceh sesat dengan jargon klasiknya yang mengangkat ‘kesetaraan gender’, karena yakinlah, Islam adalah agama yang paling memuliakan wanita yang tak dimiliki oleh ajaran agama lainnya. Mereka, para pengoceh tersebut, tidaklah menyerumu kecuali mereka menghendakimu tuk meninggalkan ajaran agamamu. Mereka menyerumu tuk bertelanjang, berikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki, mereka mengajakmu tuk melupakan kodratmu sebagai wanita yang akan melahirkan penerus-penerus bangsa, bahkan mereka akan meracuni pemikiranmu dengan kekjian-kekejian dan kejahatan-kejahatan.

Sudah!! Tak usah kau hiraukan mereka!!! Yakinlah kau, bahwa kebahagiaan yang abadi itu adalah apabila kau menjadi seorang yang taat dan memiliki keutamaan, menjadi istri yang sempurna dan mulia dan menjadi ibu yang baik dan bertakwa. Dan ini semua terkandung dalam tingginya nilai kebenaran, kebaikan dan cahaya keimanan.
Semoga Allah memuliakanmu dan menuntunmu ke jalan-Nya yang haq.